ISLAM DI MINANG KABAU
Puncak
kejayaan Raja Minangkabau diketahui setelah abad 13 . Zaman ini
disebut zaman Jawa-Hindu ketika mendaratnya suatu laskar Jawa yang
dikirim raja Kertanegara dari Singosari dalam tahun Caka 1197 (1275 M).
Ekspedisi ini berhasil sebab 11 tahun itu ditepi Batang Hari di pusat
Sumatera atas perintah raja Jawa tersebut didirikan sebuah arca dari
Amoghapaca dalam perkabaran yang berhubungan dengan itu disebut sebagai
raja dari rakyat Sumatera. Mulawarmadewa yang dapat dianggap raja
muda. Demikianpun Adityawarman (kira kira 1346 – 1375) yang paling
terkenal
dari
raja-raja sumatera ini dibawah pengaruh kekuasaan Jawa, setidak
tidaknya pada pemerintahan permulaan pemerintahnya dalam negara
Kertagama “Menangkabawa” disebut sebagai daerah taklukkan dari kerajaan
Majapahit. Salah satu bukti dari pengaruh Jawa Hindu pada zaman
Adityawarman terdapat banyak peninggalan Hindu yang sekarang masih
terdapat di Minangkabau. Tapi setelah zaman kejayaan itu tidak terdapat
sedikitpun peninggalan sejarah raja Minangkabau. Apa sebabnya dan kapan
berakhirnya kekuasaan raja Jawa Hindu itu meninggalkan Minangkabau
tidak diketahui. Kalau pun masih adanya candi hindu di ranah minang,
penulis pernah menanyakan hal ini kepada ulama yang merupakan salah
satu keturunan ulama penyebar islam di minangkabau, bahwasanya candi
hindu sebenarnya masih ada. Akan tetapi banyak candi yang di timbun
dengan tanah, hal ini dilakukan Ulama saat itu agar masyarakat tidak
kembali pada kepercayaan agama sebelum islam yaitu agama hindu dan
menghindari penganut Hindu dari luar untuk menetap disekitar candi di
Minangkabau (contoh Candi Borobudur).
Sesudah Masuknya Islam di Kerajaan Minangkabau
Setelah
orang Belanda menetap di Sumatera dalam abad ke 17 terdengarlah
kembali sesuatu terhadap kerajaan Minangkabau, berdasarkan keterangan
Van Bezel sekitar tahun 1680 saat meninggalnya kaisar Alif raja dari
Turki, akibatnya ada perselisisihan raja-raja Minangkabau, maka
kerajaan Minangkabau terbagi tiga yakni: Sungai Tarab, Saruaso dan
Pagaruyuang. Pada saat itu terjadi perpecahan dalam negeri dalam
penetapan raja, hak untuk menduduki tahta tidak diakui oleh beberapa
pembesar kerajaan (dagregister 1680 hal 123, 716, 721). Kemungkinan
pembagian kerajaan pada waktu itu tidak terjadi.
Raja
Aditiyawarman disebut-sebut sebagai raja pertama Pagaruyung yang
beragama Hindu di Minangkabau, dalam catatan Kato. Aditiyawarman ini
mempunyai pertalian darah dengan Dharmasraya. Sesaat setelah pecahnya
perang saudara sesudah wafatnya Raja Aditiyawarman yang paling
berkharisma dan besar pada masa itu, keluarga raja pindah ke Marapalam
dan lambat laun memantapkan kedudukannya sebagai mitra dagang Malaka
yang di mana di kerajaan yang besar dan menguntungkan. Anggota-anggota
keluarga raja menetap di berbagai tempat di lembah-lembah Sinamar dan
Sumpurkudus di tepi Sumpur, dan di tempat dulu yang disebut Pagaruyung,
dekat Kumanis, dimana sungai Sinamar bisa dilayari perahu dagang ke
Indragiri. Pada waktu tinggal disinilah keluarga raja berhubungan dengan
pedagang muslim dan pikiran Islam, dan pada akhir abad keenam belas
secara bertahap mereka menjadi Islam, dan pada suatu ketika fungsi
kerajaan dibagikan pada tiga anggota keluarga, karena angka tiga
mempunyai arti tertentu dalam pemikiran Minangkabau, yaitu raja ibadat
di Sumpur Kudus, raja adat di Buo dan raja alam di Pagaruyung. Sumpur
Kudus mungkin yang paling awal memeluk agama Islam, karena adanya sungai
Kampar dan Inderagiri yang ramai untuk perdagangan, dalam masa jaya
kesultanan Malaka, sungai Kampar dan Inderagiri berkembang disekitar
muara-muara sungai induknya sebagai daerah jajahan sultan yang paling
penting, yang terkait dengan sultan Malaka dengan ikatan perkawinan dan
hidup dari perdagangan transit emas dan kain India
Kedatangan
pengaruh Hindu tidak merubah keadaan yang demikian itu. Secara umum
pengaruh Hindu terasa di Minangkabau hanya pada waktu raja yang berkuasa
seorang raja yang kuat seperti Adityawarman. Sesudah raja itu
meninggal, maka pengaruhnya makin lama makin hilang, karena adat
Minangkabau muncul kembali. Aditiyawarman merupakan seorang raja yang
besar dan berkuasa penuh atas kerajaannya, banyak prasasti yang
ditinggalkan menunjukan kebesaran kekuasaannya. Tetapi Putera Mahkota
yang bernama Ananggawarman tidak sempat lagi memerintah. karena telah
digantikan oleh orang Minangkabau sendiri yang dibantu oleh “Basa Ampat Balai” .
Sebaliknya
pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap
adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat
Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
Dengan
masuknya agama Islam, maka aturan adat Minangkabau yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat
Minangkabau diganti dengan aturan agama Islam. Hal itu dapat terjadi,
karena sebetulnya antara adat Minangkabau dengan ajaran agama Islam
tidak terdapat pertentangan. Ajaran Agama Islam menambahkan aturan adat
Minangkabau yang hanya memperhatikan alam dan manusia yang menghuninya,
sedangkan masalah ke Tuhanan dan hari kemudian tidak terdapat.
Hal
pokok yang berubah dari adat Minangkabau sesudah masuknya pengaruh
ajaran agama Islam, antara lain seperti yang disebutkan oleh papatah
adat : “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”,
artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama
Islam bersendikan pada AI-Quran. Pengaruh agama Islam sangat besar
terhadap adat Minangkabau, karena sendi-sendinya yang dirubah.
Agama Islam melengkapi yang kurang, membetulkan yang salah, mengulas
yang singkat, mengurangi yang berlebih, sehingga adat Minangkabau tidak
menyimpang dari kebenaran sejati dan adat yang seperti itulah yang
dijalankan di Sumatera Barat sampai saat ini.
Mesjid Raya Bayua (Danau Maninjau)
Proses Masuknya Islam di Ranah Minang
Perkenalan
pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih diasumsikan,
adalah melalui dua jalur yaitu : pertama, pesisir timur Minangkabau atau
Minangkabau Timur antara abad ke-7 dan 8 Masehi, kedua, melalui
pesisir barat Minangkabau pada abad ke 16 Masehi
Teori
jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui
sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka
yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan
emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-pedagang Arab muslim yang
mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke 7/8 Masehi (lihat :
Mansoer,dkk., 1970 : 44-45). Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan,
adalah awal terjadinya kontak antara budaya Minangkabau dengan Islam.
Kontak budaya ini kemudian lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana
munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam
wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini,Samudra Pasai bahkan
telah menguasai sebagian wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau
Timur.
Sedangkan
asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya
kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M sebagai
akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini,
pengaruh kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat
besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera. Intensifnya
pengembangan Islam pada waktu inilah yang –oleh beberapa
penelitian,-dijadikan sebagai dasar analisis bagi awal masuknya Islam di
Minangkabau dan menghubungkan dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan
yang –oleh beberapa penulis- dianggap sebagai tokoh “pembawa” Islam
pertama ke wilayah ini. Para penulis menyatakan Syekh Burhanuddin
adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil . Syekh Burhanuddin dikenal
sebagai pembawa aliran tarikat Syatariyah ke Minangkabau untuk pertama
kalinya. Setelah dilakukan penelitian terhadap ulama-ulama di
Minangkabau, mereka menyatakan merasa resah akan pernyatakan para
penulis tersebut. Mereka menyatakan bahwa Syekh Burhanuddin adalah
berpaham Ahli Sunnah Waljamaah bermazhab Syafi’i. Itu terbukti pada
buku yang merupakan tulisan tangan beliau, saat beliau meninggal yang
diwasiatkan kepada Haji Muqaddam, kemudian diwasiatkan pada anaknya
yang bernama Buya Tuo, seterusnya Haji Harum Langik, selanjutnya buku
tersebut di bawa oleh MUI yang diketuai Buya Hamka untuk dilakukan
bedah buku, maka terbukti ajaran Syekh Burhanuddin tidak ada
hubungannya dengan Tarikat Syatariyah maupun Tarikat naqsabandiyah.
Yang menjadi pertanyaan sampai saat ini, mengapa Buya Hamka tidak
menyampaikan hal ini kepada rakyat Minangkabau? tentunya banyak sekali
masalah agama yang belum tuntas untuk terselesaikan sampai saat ini dan
menjadi misteri.
Proses masuknya Tarikat Syatariah ke Minangkabau
Sultan Iskandar Muda ( Banda Aceh, Aceh, 27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masaKesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana
daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional
sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Pada saat
itu beliau sangat resah akan perkembangan Tarikat Syatariah yang
dibawa oleh Hamzah al-Fansuri yang berasal dari Ayuthaya, ibukota lama kerajaan Siam.
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di
India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang
mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah)
dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini
disebut Bistamiyah.
Sultan
menganggap ajaran Hamzah al-Fansuri adalah sesat dan diluar dari
Islam. Oleh karena itu beliau memerintahkan prajuritnya untuk membunuh
Hamzah al-Fansuri. Dalam pelarian terakhirnya beliau memutuskan untuk
berdiam di Minangkabau . Setelah itu Hamzah al-Fansuri mengembangkan
ajarannya dipedalaman minangkabau dan pesisir barat. Pada saat Hamzah
al-Fansuri bertemu Syekh Burhanuddin, ternyata Syekh Burhanuddin
menanyakan apa sebab Hamzah al-Fansuri lari dari Aceh dan sekarang
berada di Minangkabau. Maka beliau menceritakan masalahnya terhadap
Sultan Iskandar Muda, maka terjadilah perdebatan masalah Tarikat
Syatariyah tersebut. Dengan pemahaman Syekh Burhanuddin adalah berpaham
Ahli Sunnah Waljamaah bermazhab Syafi’i yang merupakan ajaran yang
berasal dari Mekkah, bukan india. Maka Hamzah al-Fansuri menyatakan
kesalahannya dan bertaubat, dan dia sedih bahwa ajaran Tarikat
Syatariyah telah berkembang di Minangkabau. Tentunya dia sulit untuk
mengajak muridnya untuk kembali pada Islam yang benar. Setelah wafatnya
Syekh Burhanuddin dan Hamzah al-Fansuri, maka murid-murid Hamzah
al-Fansuri mengklaim bahwa Syekh Burhanuddin lah yang membawa ajaran
Tarikat Syatariyah. Oleh karena Syekh Burhanuddin sangat dekat dengan
Hamzah al-Fansuri pada saat beliau telah taubat.
Masuknya
Tarikat Syatariyah Tarikat ini kemudian berkembang di Minangkabau
dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan oleh murid-murid
Hamzah al-Fansuri sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang
berawal dari pesisir barat ini , termasuk pengembangannya ke wilayah
pedalaman. Kalau memang Syekh Burhanuddin yang menyebarkan Tarikat
Syatariyah di Minangkabau maka tentunya ajaran ini merupakan mayoritas
saat ini di Ranah Minang. Akan tetapi mengapa ajaran ini minoritas di
Ranah Minang ?
Ungku Saliah
Jika
Anda berkunjung ke rumah makan Padang atau tempat-tempat tertentu yang
milik hubunganya dengan Padang. Mungkin saja Anda sering melihat foto
seorang kakek-kakek yang memakai kopiah haji atau peci warna hitam yang
terpajang didinding. Kakek tersebut adalah Ungku Saliah sepupu dari
Pakiah Saleh dimana beliau dekat sekali dengan Buya Hamka . Ungku Saliah
adalah seorang yang taat beragama semasa hidupnya dan beliau bermazhab
syafi’i, beliau tinggal di daerah Piaman Laweh, atau tepatnya di
daerah Sungai Sariak, Pariaman.
Setelah
wafat, makam dan foto beliau dikeramatkan oleh murid-murid Hamzah
al-Fansuri, para pengagum dan orang-orang yang mengetahui cerita serta
seluk beluk beliau. Fotonya pun sering dijadikan jimat pelaris dagangan.
Termasuk di kedai-kedai nasi, rumah makan ataupun restoran Padang yang
mungkin pernah Anda jumpai.
Jika
ada foto kakek berkopiah itu terpajang di dinding rumah makan Padang,
Anda bisa langsung menyimpulkan bahwa kedai, toko atau rumah makan
Padang tersebut adalah milik orang Pariaman yaitu Ungku Saliah atau
masakannya merupakan khas Pariaman. Demikian juga Pakiah Saleh sama
nasibnya dengan Ungku Saliah, dimana foto dan gambarnya terpajang di
Rumah Makan Padang. Ini membuat keluarga beliau berang sekali. Hal ini
terjadi di Kota Pekanbaru Riau ketika keluarga beliau yang sedang makan
di Rumah Makan tersebut memaksa pemilik Rumah Makan tersebut untuk
menurunkan foto Pakiah Saleh. Ditambah pada tahun lalu ketika keluarga
berniat membersihkan kuburan Pakiah Saleh tidak diduga ternyata Sesaji
dan Cangkang Kerang besar yang di isi air hujan di letakkan di
sekeliling kuburan, ternyata kuburan ini telah dikeramatkan oleh
murid-murid Hamzah al-Fansuri. Maka dengan terpaksa keluarga almarhum
Pakiah Saleh membersihkan sesaji dan sampah-sampah tersebut dimana
mereka menilai itu adalah syirik.
Sehingga
keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai
dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh
tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap
persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan
ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan
Islam di sini -dalam perjalanannya memang di warnai oleh berbagai
konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode
kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang sebagai
suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural
masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga,
justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural
dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang
terjadi, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara
Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika
polemik pemikiran keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas
kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya dihasilkan naskah
keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai
aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Latar
depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya
gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat
dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau
mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak
budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses
serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu
akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai
karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di
wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak
ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial
struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput
diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta
paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari
pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan
pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo
bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan
syari’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah
pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan
kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini
berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing
karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa
otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku
Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syar’iyah yang
dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran
agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19
ini, oleh beberapa penulis – terutama penulis asing–, dianggap sebagai
aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai
interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan ‘menarik’
untuk memberikan gambaran “kelabu” sebagai militansi golongan Islam
dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun
2007 yang lalu.
Pertikaian
adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama
abad ke-19 menjadi “jalan masuk” bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda,
pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena
kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan
politik “belah bambu”, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan
kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai
wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang
telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha
mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa
yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari,
maka perjuangan kaum agama islam ahlussunnah wal jamaah ini beralih
menjadi perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain
itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad
ke-18 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara
Syathariyah dan Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837,
perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin
mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada
saat menghadapi musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing
dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat
untuk berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam yang
benar sambil menunaikan ibadah Haji, sehingga mereka sadar akan
kesesatan ajaran Tarikat Syatariah dan Tarikat Naqsyabandiah. Kontak
kedua kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa
pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi
perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.
Pembaharu Islam di Minangkabau
Ahmad Khatib Al-Minangkabawy,
salah seorang putera Minangkabau yang tidak merasa betah dengan
kondisi sosial di daerah kelahirannya ini, mencoba untuk menetap di
Mekkah dalam rangka mendalami ilmu-ilmu agama. Ketekunan serta tekadnya
yang kuat menyebabkan Ahmad Khatib akhirnya mampu berdiri sejajar
dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, dialah ulama asing
pertama yang mampu menduduki posisi Mufti mazhab Syafi’i di Mekkah.
Banyak kalangan ulama Indonesia yang belajar ke pusat Islam ini dikader
langsung oleh Ahmad Khatib sendiri. Kepulangan murid-murid Ahmad
Khatib ke Indonesia inilah salah satunya KH Ahmad Dahlan (di
pulau Jawa), Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan
pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek
(1860 – 1947), Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji
Abdullah Ahmad (1878 – 1933) –menurut banyak kalangan–, telah memberikan
kontribusi bagi pembaharuan keagamaan tahap kedua serta tumbuhnya
pemikiran kebangsaan yang menjadi pemicu perlawanan terhadap
kolonialisme di Indonesia pada awal abad ke-20.
Munculnya
generasi baru intelektual Islam Minangkabau pada akhir abad ke 19 dan
awal abad ke 20 ini ternyata mampu menjadi penyeimbang aksi politik
etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi
masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak
nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing
dengan sistem pendidikan barat.
Namun,
seiring dengan kembalinya generasi baru intelektual Islam yang belajar
di Timur Tengah ini ke Minangkabau, tercipta pula sebuah dinamika
konflik keagamaan baru yang dipicu oleh munculnya pemikiran baru seputar
keterikatan kepada mazhab dan kebolehan berijtihad. Konflik internal
kedua ini lebih dikenal dalam sejarah dengan polemik Kaum Tua dan Kaum
Muda. Persoalan pertama yang menjadi tema perdebatan kaum ulama ini
adalah masalah praktek pengamalan tarikat Naqsyabandiyah yang oleh
sebagian ulama pembaharu dianggap banyak yang keluar dari ajaran Islam
yang sebenarnya, seperti praktek wasilah yang dianggap tidak sesuai
dengan sunnah (Hamka, 1967:79). Persoalan ini kemudian berkembang kepada
masalah yang menyangkut kebolehan ijtihad serta perbedaan pendapat
tentang masalah-masalah furu’iyyah lainnya.
Ulama-ulama
kedua golongan ini pada dasarnya adalah produk Timur Tengah dan hampir
semuanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy.
Dari
konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad
Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya
sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh
persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak
melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar
ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan
berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang
memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan
sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat
Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan
itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah
mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah
pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam
melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya,
sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh
pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan
bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam
sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan
Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal
dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas
seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat
juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya.
Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke
18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak
kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah
muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H.
Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher
Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Pendek
kata, situasi Minangkabau dengan keunikan kulturalnya telah melahirkan
banyak tokoh intelektual dan pejuang yang responsif terhadap berbagai
persoalan sosial yang dihadapi di zamannya ; tokoh wanita semisal
Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rahmah el-Yunusiyyah, Ratna Sari, dan
lain-lain dari kalangan wanita di negeri ini, demikianpun di bidang
politik kenegaraan seperti Syahrir, Mohammad Yamin, H. Agus Salim,
Natsir, Hamka dan lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu
persatu. Setidaknya sampai zaman kemerdekaan tokoh-tokoh dalam berbagai
bidang telah terlahir dari ranah Minang ini.
Dari
catatan sejarah setelah kemerdekaan, kita menyaksikan suatu perubahan
yang cendrung memperlihatkan gejala penurunan yang drastis yaitu tidak
banyaknya muncul tokoh intelektual sebagaimana waktu sebelumnya. Hingga
masa akhir Orde Baru, produk intelektual Minangkabau semakin tidak
banyak yang mampu mewarnai khazanah pemikiran di negeri ini,
gagasan-gagasan segar dari kalangan intelektual, politisi dan ulama
tidak lagi menggema di seantero nusantara ini. Demikian juga dalam
bidang pendidikan Islam,–setidaknya dalam tiga dasa warsa terakhir–,
madrasah-madrasah jelmaan dari surau-surau yang dulunya didatangi oleh
murid dari berbagai pelosok tanah air, untuk sebahagian hanya tinggal
nama. Banyak madrasah yang sudah kehilangan tokoh kharismatis, akibat
mandegnya proses regenerasi dikalangan mereka. Inilah realitas
Minangkabau hingga waktu ini.