Minggu, 12 Agustus 2012

islam di minang kabau

ISLAM DI MINANG KABAU


Puncak kejayaan Raja Minangkabau diketahui setelah abad 13 . Zaman ini disebut zaman Jawa-Hindu ketika mendaratnya suatu laskar Jawa yang dikirim raja Kertanegara dari Singosari dalam tahun Caka 1197 (1275 M). Ekspedisi ini berhasil sebab 11 tahun itu ditepi Batang Hari di pusat Sumatera atas perintah raja Jawa tersebut didirikan sebuah arca dari Amoghapaca dalam perkabaran yang berhubungan dengan itu disebut sebagai raja dari rakyat Sumatera. Mulawarmadewa yang dapat dianggap raja muda. Demikianpun Adityawarman (kira kira 1346 – 1375) yang paling terkenal
dari raja-raja sumatera ini dibawah pengaruh kekuasaan Jawa, setidak tidaknya pada pemerintahan permulaan pemerintahnya dalam negara Kertagama “Menangkabawa” disebut sebagai daerah taklukkan dari kerajaan Majapahit. Salah satu bukti dari pengaruh Jawa Hindu pada zaman Adityawarman terdapat banyak peninggalan Hindu yang sekarang masih terdapat di Minangkabau. Tapi setelah zaman kejayaan itu tidak terdapat sedikitpun peninggalan sejarah raja Minangkabau. Apa sebabnya dan kapan berakhirnya kekuasaan raja Jawa Hindu itu meninggalkan Minangkabau tidak diketahui. Kalau pun masih adanya candi hindu di ranah minang, penulis pernah menanyakan hal ini kepada ulama yang merupakan salah satu keturunan ulama penyebar islam di minangkabau, bahwasanya candi hindu sebenarnya masih ada. Akan tetapi banyak candi yang di timbun dengan tanah, hal ini dilakukan Ulama saat itu agar masyarakat tidak kembali pada kepercayaan agama sebelum islam yaitu agama hindu dan menghindari penganut Hindu dari luar untuk menetap disekitar candi di Minangkabau (contoh Candi Borobudur).
Sesudah Masuknya Islam di Kerajaan Minangkabau
Setelah orang Belanda menetap di Sumatera dalam abad ke 17 terdengarlah kembali sesuatu terhadap kerajaan Minangkabau, berdasarkan keterangan Van Bezel sekitar tahun 1680 saat meninggalnya kaisar Alif raja dari Turki, akibatnya ada perselisisihan raja-raja Minangkabau, maka kerajaan Minangkabau terbagi tiga yakni: Sungai Tarab, Saruaso dan Pagaruyuang. Pada saat itu terjadi perpecahan dalam negeri dalam penetapan raja, hak untuk menduduki tahta tidak diakui oleh beberapa pembesar kerajaan (dagregister 1680 hal 123, 716, 721). Kemungkinan pembagian kerajaan pada waktu itu tidak terjadi.
Raja Aditiyawarman disebut-sebut sebagai raja pertama Pagaruyung yang beragama Hindu di Minangkabau, dalam catatan Kato. Aditiyawarman ini mempunyai pertalian darah dengan Dharmasraya. Sesaat setelah pecahnya perang saudara sesudah wafatnya Raja Aditiyawarman yang paling berkharisma dan besar pada masa itu, keluarga raja pindah ke Marapalam dan lambat laun memantapkan kedudukannya sebagai mitra dagang Malaka yang di mana di kerajaan yang besar dan menguntungkan. Anggota-anggota keluarga raja menetap di berbagai tempat di lembah-lembah Sinamar dan Sumpurkudus di tepi Sumpur, dan di tempat dulu yang disebut Pagaruyung, dekat Kumanis, dimana sungai Sinamar bisa dilayari perahu dagang ke Indragiri. Pada waktu tinggal disinilah keluarga raja berhubungan dengan pedagang muslim dan pikiran Islam, dan pada akhir abad keenam belas secara bertahap mereka menjadi Islam, dan pada suatu ketika fungsi kerajaan dibagikan pada tiga anggota keluarga, karena angka tiga mempunyai arti tertentu dalam pemikiran Minangkabau, yaitu raja ibadat di Sumpur Kudus, raja adat di Buo dan raja alam di Pagaruyung. Sumpur Kudus mungkin yang paling awal memeluk agama Islam, karena adanya sungai Kampar dan Inderagiri yang ramai untuk perdagangan, dalam masa jaya kesultanan Malaka, sungai Kampar dan Inderagiri berkembang disekitar muara-muara sungai induknya sebagai daerah jajahan sultan yang paling penting, yang terkait dengan sultan Malaka dengan ikatan perkawinan dan hidup dari perdagangan transit emas dan kain India
Kedatangan pengaruh Hindu tidak merubah keadaan yang demikian itu. Secara umum pengaruh Hindu terasa di Minangkabau hanya pada waktu raja yang berkuasa seorang raja yang kuat seperti Adityawarman. Sesudah raja itu meninggal, maka pengaruhnya makin lama makin hilang, karena adat Minangkabau muncul kembali. Aditiyawarman merupakan seorang raja yang besar dan berkuasa penuh atas kerajaannya, banyak prasasti yang ditinggalkan menunjukan kebesaran kekuasaannya. Tetapi Putera Mahkota yang bernama Ananggawarman tidak sempat lagi memerintah. karena telah digantikan oleh orang Minangkabau sendiri yang dibantu oleh “Basa Ampat Balai” .
Sebaliknya pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat Minangkabau yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat Minangkabau diganti dengan aturan agama Islam. Hal itu dapat terjadi, karena sebetulnya antara adat Minangkabau dengan ajaran agama Islam tidak terdapat pertentangan. Ajaran Agama Islam menambahkan aturan adat Minangkabau yang hanya memperhatikan alam dan manusia yang menghuninya, sedangkan masalah ke Tuhanan dan hari kemudian tidak terdapat.
Hal pokok yang berubah dari adat Minangkabau sesudah masuknya pengaruh ajaran agama Islam, antara lain seperti yang disebutkan oleh papatah adat : “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada AI-Quran. Pengaruh agama Islam sangat besar terhadap adat Minangkabau, karena sendi-sendinya yang dirubah. Agama Islam melengkapi yang kurang, membetulkan yang salah, mengulas yang singkat, mengurangi yang berlebih, sehingga adat Minangkabau tidak menyimpang dari kebenaran sejati dan adat yang seperti itulah yang dijalankan di Sumatera Barat sampai saat ini.
Mesjid Raya Bayua (Danau Maninjau)
 Proses Masuknya Islam di Ranah Minang
Perkenalan pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih diasumsikan, adalah melalui dua jalur yaitu : pertama, pesisir timur Minangkabau atau Minangkabau Timur antara abad ke-7 dan 8 Masehi, kedua, melalui pesisir barat Minangkabau pada abad ke 16 Masehi
Teori jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-pedagang Arab muslim yang mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke 7/8 Masehi (lihat : Mansoer,dkk., 1970 : 44-45). Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, adalah awal terjadinya kontak antara budaya Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini kemudian lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini,Samudra Pasai bahkan telah menguasai sebagian wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau Timur.
Sedangkan asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini, pengaruh kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera. Intensifnya pengembangan Islam pada waktu inilah yang –oleh beberapa penelitian,-dijadikan sebagai dasar analisis bagi awal masuknya Islam di Minangkabau dan menghubungkan dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan yang –oleh beberapa penulis- dianggap sebagai tokoh “pembawa” Islam pertama ke wilayah ini. Para penulis menyatakan Syekh Burhanuddin adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil . Syekh Burhanuddin dikenal sebagai pembawa aliran tarikat Syatariyah ke Minangkabau untuk pertama kalinya. Setelah dilakukan penelitian terhadap ulama-ulama di Minangkabau, mereka menyatakan merasa resah akan pernyatakan para penulis tersebut. Mereka menyatakan bahwa Syekh Burhanuddin adalah berpaham Ahli Sunnah Waljamaah bermazhab Syafi’i. Itu terbukti pada buku yang merupakan tulisan tangan beliau, saat beliau meninggal yang diwasiatkan kepada Haji Muqaddam, kemudian diwasiatkan pada anaknya yang bernama Buya Tuo, seterusnya Haji Harum Langik, selanjutnya buku tersebut di bawa oleh MUI yang diketuai Buya Hamka untuk dilakukan bedah buku, maka terbukti ajaran Syekh Burhanuddin tidak ada hubungannya dengan Tarikat Syatariyah maupun Tarikat naqsabandiyah. Yang menjadi pertanyaan sampai saat ini, mengapa Buya Hamka tidak menyampaikan hal ini kepada rakyat Minangkabau? tentunya banyak sekali masalah agama yang belum tuntas untuk terselesaikan sampai saat ini dan menjadi misteri.
Proses masuknya Tarikat Syatariah ke Minangkabau
Sultan Iskandar Muda ( Banda Aceh, Aceh, 27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masaKesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Pada saat itu beliau sangat resah akan perkembangan Tarikat Syatariah yang dibawa oleh Hamzah al-Fansuri yang berasal dari Ayuthaya, ibukota lama kerajaan Siam. Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Sultan menganggap ajaran Hamzah al-Fansuri adalah sesat dan diluar dari Islam. Oleh karena itu beliau memerintahkan prajuritnya untuk membunuh Hamzah al-Fansuri. Dalam pelarian terakhirnya beliau memutuskan untuk berdiam di Minangkabau . Setelah itu Hamzah al-Fansuri mengembangkan ajarannya dipedalaman minangkabau dan pesisir barat. Pada saat Hamzah al-Fansuri bertemu Syekh Burhanuddin, ternyata Syekh Burhanuddin menanyakan apa sebab Hamzah al-Fansuri lari dari Aceh dan sekarang berada di Minangkabau. Maka beliau menceritakan masalahnya terhadap Sultan Iskandar Muda, maka terjadilah perdebatan masalah Tarikat Syatariyah tersebut. Dengan pemahaman Syekh Burhanuddin adalah berpaham Ahli Sunnah Waljamaah bermazhab Syafi’i yang merupakan ajaran yang berasal dari Mekkah, bukan india. Maka Hamzah al-Fansuri menyatakan kesalahannya dan bertaubat, dan dia sedih bahwa ajaran Tarikat Syatariyah telah berkembang di Minangkabau. Tentunya dia sulit untuk mengajak muridnya untuk kembali pada Islam yang benar. Setelah wafatnya Syekh Burhanuddin dan Hamzah al-Fansuri, maka murid-murid Hamzah al-Fansuri mengklaim bahwa Syekh Burhanuddin lah yang membawa ajaran Tarikat Syatariyah. Oleh karena Syekh Burhanuddin sangat dekat dengan Hamzah al-Fansuri pada saat beliau telah taubat.
Masuknya Tarikat Syatariyah Tarikat ini kemudian berkembang di Minangkabau dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan oleh murid-murid Hamzah al-Fansuri sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang berawal dari pesisir barat ini , termasuk pengembangannya ke wilayah pedalaman. Kalau memang Syekh Burhanuddin yang menyebarkan Tarikat Syatariyah di Minangkabau maka tentunya ajaran ini merupakan mayoritas saat ini di Ranah Minang. Akan tetapi mengapa ajaran ini minoritas di Ranah Minang ?

Ungku Saliah

Jika Anda berkunjung ke rumah makan Padang atau tempat-tempat tertentu yang milik hubunganya dengan Padang. Mungkin saja Anda sering melihat foto seorang kakek-kakek yang memakai kopiah haji atau peci warna hitam yang terpajang didinding. Kakek tersebut adalah Ungku Saliah sepupu dari Pakiah Saleh dimana beliau dekat sekali dengan Buya Hamka . Ungku Saliah adalah seorang yang taat beragama semasa hidupnya dan beliau bermazhab syafi’i, beliau tinggal di daerah Piaman Laweh, atau tepatnya di daerah Sungai Sariak, Pariaman.
Setelah wafat, makam dan foto beliau dikeramatkan oleh murid-murid Hamzah al-Fansuri, para pengagum dan orang-orang yang mengetahui cerita serta seluk beluk beliau. Fotonya pun sering dijadikan jimat pelaris dagangan. Termasuk di kedai-kedai nasi, rumah makan ataupun restoran Padang yang mungkin pernah Anda jumpai.
Jika ada foto kakek berkopiah itu terpajang di dinding rumah makan Padang, Anda bisa langsung menyimpulkan bahwa kedai, toko atau rumah makan Padang tersebut adalah milik orang Pariaman yaitu Ungku Saliah atau masakannya merupakan khas Pariaman. Demikian juga Pakiah Saleh sama nasibnya dengan Ungku Saliah, dimana foto dan gambarnya terpajang di Rumah Makan Padang. Ini membuat keluarga beliau berang sekali. Hal ini terjadi di Kota Pekanbaru Riau ketika keluarga beliau yang sedang makan di Rumah Makan tersebut memaksa pemilik Rumah Makan tersebut untuk menurunkan foto Pakiah Saleh. Ditambah pada tahun lalu ketika keluarga berniat membersihkan kuburan Pakiah Saleh tidak diduga ternyata Sesaji dan Cangkang Kerang besar yang di isi air hujan di letakkan di sekeliling kuburan, ternyata kuburan ini telah dikeramatkan oleh murid-murid Hamzah al-Fansuri. Maka dengan terpaksa keluarga almarhum Pakiah Saleh membersihkan sesaji dan sampah-sampah tersebut dimana mereka menilai itu adalah syirik.
Sehingga keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam perjalanannya memang di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga, justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan syari’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syar’iyah yang dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19 ini, oleh beberapa penulis – terutama penulis asing–, dianggap sebagai aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan ‘menarik’ untuk memberikan gambaran “kelabu” sebagai militansi golongan Islam dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun 2007 yang lalu.
Pertikaian adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama abad ke-19 menjadi “jalan masuk” bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda, pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan politik “belah bambu”, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari, maka perjuangan kaum agama islam ahlussunnah wal jamaah ini beralih menjadi perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam yang benar sambil menunaikan ibadah Haji, sehingga mereka sadar akan kesesatan ajaran Tarikat Syatariah dan Tarikat Naqsyabandiah. Kontak kedua kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.
Pembaharu Islam di Minangkabau
Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, salah seorang putera Minangkabau yang tidak merasa betah dengan kondisi sosial di daerah kelahirannya ini, mencoba untuk menetap di Mekkah dalam rangka mendalami ilmu-ilmu agama. Ketekunan serta tekadnya yang kuat menyebabkan Ahmad Khatib akhirnya mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, dialah ulama asing pertama yang mampu menduduki posisi Mufti mazhab Syafi’i di Mekkah. Banyak kalangan ulama Indonesia yang belajar ke pusat Islam ini dikader langsung oleh Ahmad Khatib sendiri. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah salah satunya KH Ahmad Dahlan (di pulau Jawa), Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) –menurut banyak kalangan–, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan keagamaan tahap kedua serta tumbuhnya pemikiran kebangsaan yang menjadi pemicu perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia pada awal abad ke-20.
Munculnya generasi baru intelektual Islam Minangkabau pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 ini ternyata mampu menjadi penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem pendidikan barat.
Namun, seiring dengan kembalinya generasi baru intelektual Islam yang belajar di Timur Tengah ini ke Minangkabau, tercipta pula sebuah dinamika konflik keagamaan baru yang dipicu oleh munculnya pemikiran baru seputar keterikatan kepada mazhab dan kebolehan berijtihad. Konflik internal kedua ini lebih dikenal dalam sejarah dengan polemik Kaum Tua dan Kaum Muda. Persoalan pertama yang menjadi tema perdebatan kaum ulama ini adalah masalah praktek pengamalan tarikat Naqsyabandiyah yang oleh sebagian ulama pembaharu dianggap banyak yang keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya, seperti praktek wasilah yang dianggap tidak sesuai dengan sunnah (Hamka, 1967:79). Persoalan ini kemudian berkembang kepada masalah yang menyangkut kebolehan ijtihad serta perbedaan pendapat tentang masalah-masalah furu’iyyah lainnya.
Ulama-ulama kedua golongan ini pada dasarnya adalah produk Timur Tengah dan hampir semuanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Pendek kata, situasi Minangkabau dengan keunikan kulturalnya telah melahirkan banyak tokoh intelektual dan pejuang yang responsif terhadap berbagai persoalan sosial yang dihadapi di zamannya ; tokoh wanita semisal Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rahmah el-Yunusiyyah, Ratna Sari, dan lain-lain dari kalangan wanita di negeri ini, demikianpun di bidang politik kenegaraan seperti Syahrir, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Natsir, Hamka dan lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Setidaknya sampai zaman kemerdekaan tokoh-tokoh dalam berbagai bidang telah terlahir dari ranah Minang ini.
Dari catatan sejarah setelah kemerdekaan, kita menyaksikan suatu perubahan yang cendrung memperlihatkan gejala penurunan yang drastis yaitu tidak banyaknya muncul tokoh intelektual sebagaimana waktu sebelumnya. Hingga masa akhir Orde Baru, produk intelektual Minangkabau semakin tidak banyak yang mampu mewarnai khazanah pemikiran di negeri ini, gagasan-gagasan segar dari kalangan intelektual, politisi dan ulama tidak lagi menggema di seantero nusantara ini. Demikian juga dalam bidang pendidikan Islam,–setidaknya dalam tiga dasa warsa terakhir–, madrasah-madrasah jelmaan dari surau-surau yang dulunya didatangi oleh murid dari berbagai pelosok tanah air, untuk sebahagian hanya tinggal nama. Banyak madrasah yang sudah kehilangan tokoh kharismatis, akibat mandegnya proses regenerasi dikalangan mereka. Inilah realitas Minangkabau hingga waktu ini.

supranatural di ranah minang

  1. supranatural di ranah minang
    Makam Keramat Tanjung Lilin-Payakumbuh

    Makam keramat Tanjung Lilin-Syech Yusuf/Syech Abdurrahman
    Makam keramat Tanjung Lilin terletak di Kenagarian Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh ± 8 km arah utara kota Payakumbuh dan sangat mudah serta aman untuk dikunjungi.Ditempat ini terasa suasana yang tenang dan sunyi walaupun sangat dekat dengan perkampungan penduduk. Ada dua versi cerita tentang Makam Keramat ini, versi pertama menceritakan bahwa yang berkubur disini adalah Syech Yusuf yang merupakan salah seorang ulama yang ikut mengembangkan syi’ar agama Islam dari Aceh sampai ke Malaysia, beliau dikenal mempunyai kesaktian dan ilmu kebatinan yang sangat tinggi.

    Syech Yusuf mempunyai 3 orang istri dan salah seorang istri beliau berasal dari Negeri Sembilan Malaysia dan beliau juga mempunyai anak cucu disana. Konon kabarnya, beliau bisa mengetahui keadaan anak cucunya di Negeri Sembilan walaupun beliau berada di Taeh, dan begitu juga sebaliknya.

    Versi kedua mengatakan bahwa yang berkubur disini adalah Syech Abdurrahman, yang ikut berjasa dalam mengembangkan agama Islam di daerah ini semasa zaman Paderi. Pengikut Tuanku Imam Bonjol ini memiliki kesaktian, mahir dengan ilmu bela diri dan terkenal keberaniannya. Tidak hanya didaerah ini, beliau juga mengembangkan agama Islam sampai ke Malaysia, tepatnya didaerah Kelang. Diperkirakan meninggal tahun 1836.

    Kekeramatan kuburan ini terlihat setelah beliau dikuburkan. Banyak penduduk sekitar yang sering melihat cahaya diatas kuburan tersebut yang menyerupai api lilin sehingga mereka takut untuk mendekat karena dianggap angker dan keramat.
  2. Wisata Religi Makam Buya Lubuak Landau Pasaman Barat

    Di Jorong Lubuak Landua,Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat terdapat sebuah Surau yang sudah berumur 155 tahun.surau yang terletak di kaki gunung Pasaman ini dikenal dengan nama surau Lubuak Landua saat ini sebagai tempat beribadah surau Lubuak Landua ini juga menjadi tujuan wisata ziarah, berziarah ke makam Buya Lubuak Landau.

    Buya Lubuak Landua konon adalah penyebar agama Islam yang pertama di Pasaman, Dimakam Buya Lubuak Landua ini ada semacam air yang terdapat di dalam wadah kulit lokan besar,banyak penziarah percaya kalau air yang terdapat di makam Buya Lubuak Landua ini dapat membuka hati dan menerangi jiwa yang sedang dalam masalah.

    Caranya dengan jalan meneteskan air tersebut ke mata atau meminumnya.
    Disamping itu surau Lubuak Landua juga di jadikan oleh pengikut buya Lubuak Landua untuk melakukan Suluak,yaitu beribadah kepada Allah SWT di dalam surau tersebut,agar lebih khusuk dalam melakukan ibadah atau berzikir tempat ibadah itu dilingkari dengan kain dibuat seperti kelambu untuk seorang diri.

    Hal ini juga dilakukan dengan harapan mendapat petunjuk dari yang Maha Kuasa serta bimbingan dari Buya Lubuak LanduaPada tahun 1852 surau Lubuak Landua di dirikan oleh Syech Basyir atau yang dikenal dengan nama Buya Lubuak Landua I,Pada masa kepemimpinan Syech Basyir inilah dibuat ikan larangan Lubuak Landua.

    Syech Basyir ini wafat pada tahun 1922 pada usia 122 tahun.Kepemimpinan surau Lubuak Landua di lanjutkan oleh putra beliau Syech Muhammad Amin yang dikenal dengan nama Buya Lubuak Landua II, kepemimnpinan Syech Muhammad Amin ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1927 beliau wafat,kepemimpinan surau Lubuak landua dilanjutkan oleh Syec Abdul Majid dengan gelar Buya Lubuak Landua III,Syech Abdul Majid meninggal pada tahun 1984,setelah memimpin surau lubuak landua selama 57 tahun.

    sepeninggal Syech Abdul Majid kepemimpinan surau lubuak landua di lanjutkan oleh adik beliau Syec Abdul Jabbar,beliau dikenal dengan sebutan Buya Lubuak Landua IV,Syech Abdul Jabbar wafat pada tahun 1997,kepemimpinan surau lubuak landua di lanjutkan oleh putra beliau Syech Bahri dengan sebutan Buya Lubuak Landua V,sampai saat sekarang.



    Ikan Gariang di Lubuk Larangan Landua Objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan adalan ikan larangan Lubuak Landua,Ikan laranagn ini terletak di aliran batang Luan yang mengalir di sisi surau Lubuak Landua.Ikan di lubuk larangan ini besar-besar karena lubuk larangan ini telah berusia ratusan tahun sama dengan usia surau Lubuak Landua ini.

    Lubuk larangan yang didirikan oleh Syech Basyir ini dihuni oleh ikan air tawar sejenis ikan garing,dahulu sewaktu membuat lubuk larangan ini ikan-ikan ini diberi uduah yaitu semacam ilmu teluh agar ikan tersebut tidak di curi orang. dan apabila ada yang mencurinya si pencuri tersebut akan sakit bahkan dapat menyebabkan kematian.

    Namun pada saat sekarang uduah tersebut tidak digunakan lagi, tujuan utama memeliara ikan di lubuk larangan ini adalah untuk sumber bibit ikan, melestarikan alam, dan
  3. Air Penyembuh dari Rumah Mande Rubiah di Lunang Silaut, Pesisir Selatan


    Rumah Gadang Mande Rubiah di Nagari Lunang, Kecamatan Lunang Silaut Kabupaten Pesisir Selatan memiliki keunikkan tersendiri. Karena salah satu tonggak di rumah gadang itu dapat mengeluarkan air.
    Hal ini telah berlangsung sejak dahulu-dahulunya. Masyarakat percaya bahwa air yang keluar dari tonggak rumah gadang Mande Rubiah ini dapat mengobati berbagai macam penyakit.
    Sampai sekarang tidak sedikit orang yang datang kerumah gadang Mande rubiah ini dengan maksud yang demikian.
    Disamping itu Mande Rubiah sendiri dipercaya sebagai seorang yang sakti mandraguna (orang bertuah).Jadi diantara meraka yang datang ke rumah gadang mande Rubiah ini bukan saja orang yang ingin berobat,tetapi mereka juga mempercayai jika mereka punya suatu hajat dan menghajatkannya ketika meminum air yang keluar dari tonggak Rumah gadang mande Rubiah ini maka Insya Allah hajat itu akan tercapai.

    Nazar.

    Setelah penyakit seseorang itu sembuh atau hajatnya tercapai,biasanya orang itu kembali lagi ke rumah gadang mande Rubiah,katanya untuk membayar nazar,karena dahulu mereka bernazar jika penyakitnya sembuh atau hajatnya tercapai mereka akan berdoa di rumah gadang Mande Rubiah ini.

    Jika anda tertarik untuk ke Lunang,entah bermaksud untuk berobat atau berhajat atau hanya sekedar untuk berjalan-jalan,melihat-lihat kuburan tua yang ada disekitar komplek Rumah gadang Mandeh Rubiah ini,yang dipercaya sebagai kuburan Raja Pagaruyung dan pengikutnya.
    Dengan senang hati Titisan Mande Rubiah yang tinggal di Rumah Gadang tersebut akan menjawab pertanyaan anda.

    Disamping itu anda juga dapat melihat benda-benda pusaka minagkabau lainnya,juga sebuah telur besar "talua garudo" (telur burung garuda) yang tak ada du
  4. Makan Syech Burhanudin Pariaman
    Makam Syekh Burhanuddin di daerah pantai Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat tampak resik. Makam Syeikh Burhanuddin terletak di dalam sebuah kompleks pemakaman khusus yang dikelilingi pagar tembok setinggi dua meter. Di kiri dan kanan makam Syeikh Burhanuddin terdapat makam para penggantinya. Sementara di bagian luar, berderet sejumlah kios atau lapak para pedagang cenderamata, kitab, dan juga makanan.

    Tidak sulit untuk mengetahui sejarah sang ulama. Para penjaga makam dengan ramah akan menjelaskan panjang lebar sejarah ulama besar Minang ini. Bahkan di sekitar areal makam, dijual pula buku sejarah Syekh Burhanuddin. Salah satunya bersumber dari naskah Arab Melayu berjudul ‘Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo’, yang ditulis tahun 1823.

    Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama dan pengembang agama Islam di Minangkabau yang dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan, Padang Panjang dengan nama kecil Pakiah Pono. Ayah Pono bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah dan Ibunya bernama Cukup Bilang Pandai. Pono mendapat nama baru Burhanuddin, ketika belajar agama Islam selama 15 tahun kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al Fansuri Al Jawi Assingkili atau Syah Kuala di Aceh.

    Sebelum belajar di Aceh, Pakiah Pono sempat belajar kepada Syeikh Madinah. Sekembali dari Aceh, Syekh Burhanuddin membawa ajaran Tariqat Syatariah ke Ulakan dan menyebar ke sejumlah daerah Minangkabau. Ilmu pengetahuan Syeikh Burhanuddin dinilai tinggi karena tempaan dari Mufti Kerajaan Iskandar Muda, Aceh, Syeikh Abdur Rauf ini menjadikannya piawai dalam persoalan kenegaraan.

    Bahkan, karena kepiawaian ilmu politiknya itu, Syeikh Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan pemimpin Kerajaan Minangkabau. Kesepakatan itu adalah bahwa hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau. Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih dikenal dengan ‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah’.

    Kesepakatan itu dibuat di Bukit Marapalam antara para tokoh adat dan kerajaan di Minangkabau ini, terkait adat yang kuat saat itu dengan berkembangnya ajaran Islam. Karena sempat terjadi pergolakan saat itu, dengan pendekatan Syeikh Burhanuddin yang sangat halus dan penuh kesopanan itu maka tercapailah kesepakatan antara rakyat dan ulama pada tahun 1668.

    Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan yang diterima dengan suara bulat. Syeikh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya mengembang agama Islam di seluruh Minangkabau.

    Kesepakatan itu cepat tercapai dengan waktu singkat, karena Syeikh Burhanuddin memegang teguh falsafah gurunya, Syeikh Abdur Rauf, yaitu ‘Adat Bak Po Teumeureuhum, Hukom bak Syiah Kuala’ atau adat kembali pada raja Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala. Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minang
    http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=515352826156788708#overview/src=dashboard

Tuanku Nan Renceh Penegak Syariat Islam di Ranah Minang

Tuanku Nan Renceh Penegak Syariat Islam di Ranah Minang


PANGMA kaum paderi yang tegas dan penuh wibawa. Berhasil melaksanakan pemurnian Islam ke setiap nagari di Ranah Minang, sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dikontrol sangat ketat

Kejayaan Islam di Ranah Minang (Sumatera Barat) pernah mencapai puncaknya ketika kaumpaderi (ulama) dipimpin oleh ‘Abdullah Tuanku Nan Renceh. Kekuasaannya menghunjam sampai lembaga pemerintahan nagari yang diberi hak otonom oleh Kerajaan Minangkabau. Kerajaan tersebut kala itu berpusat di Pagaruyung.

Pusat kekuasaan kaum paderi sendiri berada di teritorial Luhak (Kabupaten) Nan Tuo, yakni Luhak Agam, Tanah Datar, dan Luhak Nan Limopuluah Dikoto. Atau, seluas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Agam, Tanah Datar, dan Kabupaten 50 Kota sekarang.

Pada masa itu, kaum paderi benar-benar memegang kendali pemerintahan dan kemasyarakatan untuk mengamalkan syariat Islam. Kondisinya tak jauh berbeda ketika jazirah Arab bangkit dengan dakwah pemurnian yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).
Sejarah kelahiran pergerakan kaum paderi di Ranah Minang memang tak dapat dilepas dari pergerakan Dakwah Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab  di jazirah Arab. Pergerakannya berawal pada tahun 1802 ketika “Tiga Serangkai” pulang dari Makkah, yakni Haji Miskin dari Pandai Sikek (Pandai Sikat) Luhak Agam, Haji Muhammad Arief dari Sumanik, Luhak Tanah Datar (dikenal dengan Haji Sumanik), dan Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Limopuluah Dikoto (dikenal dengan Haji Piobang). Ketiganya dikenal dengan sebutan Haji Nan Tigo. Mereka mendalami ajaran Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab  saat belajar di tanah suci Makkah hampir 10 tahun lamanya.

Panglima Paderi

‘Abdullah adalah putra dari Incik Rahmah, pemuka suku Koto Nagari Kamang Mudik, yang lahir di Jorong Bansa, Nagari Kamang Mudik, Luhak Agam, tahun 1762. Sejak kecil, Abdullah senantiasa giat memperdalam ilmu agama.
Ia merasa tidak cukup hanya belajar pada guru mengaji tingkat nagari sebagaimana tradisi anak muda seusianya kala itu. Abdullah melakukan terobosan dengan belajar di kampung lain, tepatnya di surau Tuanku Tuo di Cangkiang, Luhak Agam.
Tamat dari pendidikan model surau, ‘Abdullah masih belum merasa puas. Dia bukannya kambali ke kampung halaman, tetapi meneruskan perjalanan ke Ulakan, Padang Pariaman.
Hampir lima tahun menuntut ilmu, barulah ‘Abdullah kembali ke Jorong Bansa. Begitu sampai di kampung, ‘Abdullah mendengar kabar ada ulama besar di Pandai Sikek yang baru pulang dari Makkah. Namanya Haji Miskin. ‘Abdullah yang saat itu baru tiba di rumah langsung saja berangkat ke Pandai Sikek.
Sesampai di sana, betapa kecewanya ‘Abdullah karena Haji Miskin tak ditemukan. Dia lebih kecewa lagi ketika mengetahui bawa Haji Miskin yang baru pulang itu hanya sebentar berada di Pandai Sikek. Ternyata tokoh yang ia buru itu harus pergi lagi karena dakwahnya tak diterima oleh masyarakat kampungnya sendiri.
Bagi ‘Abdullah, kabar “diusirnya” Haji Miskin justru membuat penasaran. Pikirnya, kalaulah apa yang dibawa Haji Miskin tak terlalu istimewa, tentulah perlawanan dari orang kampung sendiri tidak sehebat itu.
Ternyata benar. Begitu ketemu Haji Miskin di tempat pengungsiannya, Nagari Ampek Angkek (Empat Angkat), Abdullah mendapat pelajaran tentang pemurnian gerakan Islam. Ajaran ini sama dengan yang digerakan dakwah Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab di jazirah Arab.
Haji Miskin memberikan pengajian secara berkesinambungan, dibantu oleh dua karibnya yakni Haji Piobang dan Haji Sumanik. Lalu, bergabung pula beberapa tokoh Islam lainnya, seperti Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Lintau, Tuanku Ladang Laweh (Ladang Luas), Tuanku Dikoto Padang Lua (Padang Luar), Tuanku Galung, Tuanku Dikoto Ambalau, dan Tuanku Dilubuk Aua (Lubuk Aur). Mereka masing-masing adalah ulama di kampungnya.

Para ulama itu kemudian berbai’at kepada Haji Miskin untuk melancarkan gerakan penegakan syariat Islam yang mereka beri nama gerakan kaum paderi. Mereka ini kemudian dikenal sebagai Dewan Pimpinan Paderi dengan julukan “Harimau Nan Salapan” (Harimau yang Delapan). ‘Abdullah ditunjuk sebagai pimpinan merangkap panglima perang dengan gelar Tuanku Nan Renceh Al-Mujaddid. Sementara Haji Miskin diangkat sebagai hakim.
Menurut Angga Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, gerakan Paderi pimpinan Nan Renceh adalah gerakan sistemik dengan angkatan perang yang mirip angkatan perang Turki. Memang, Nan Renceh beberapa kali mengirimkan beberapa prajurit terbaiknya untuk belajar bertempur di Kesultanan Turki.
Kala itu ilmu peperangan Kesultanan Turki sudah maju. Pasukan Jenitsar Cavalary Turki pernah menghalau dan menghancurkan tentara Napoleon Bonaparte. Di antara tentara paderi yang dikirim tersebut adalah Tuanku Kulawat. Ia malah sempat berperang bersama tentara Turki melawan tentara Napoleon tahun 1809 sampai 1812. Kemudian, Tuanku Gapuak (1809-183), Tuanku Rao (1812-1815), dan Tuanku Tambusai (1817-1821).

Perjuangan kaum paderi, seperti dicatat oleh Haji Piobang, memiliki tiga target fase. Pertama, jangka tujuh tahun sudah harus merebut seluruh pulau Andalas dan Semenanjung Malaya. Kedua, jangka tiga tahun kemudian sudah harus merebut kekuasaan di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil di timurnya. Ketiga, merebut seluruh tanah Jawi (Nusantara), kemudian bekerjasama dengan pasukan Dato’ Haji Onn. Pasukan yang terakhir ini kabarnya sudah berhasil merebut kekuasaan di Filipina Selatan, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Sangihe.

Tegas Tegakkan Hukum Islam
Selama masa kepemimpinan ‘Abdullah Tuanku Nan Renceh (1762-1825), menurut sejarawan Ampera Salim, kaum paderi berhasil melaksanakan pemurnian Islam dan masuk ke setiap ruang lingkup pemerintahan nagari. Sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dalam kehidupan masyarakat setiap nagari dikontrol dengan sangat ketat.
Usai shalat Shubuh di surau-surau, Nan Renceh menurunkan Laskar Paderi keliling kampung. Mereka bertugas memeriksa batu tapakan yang sudah disediakan di setiap pintu masuk rumah penduduk. Apabila batu itu basah, diketahuilah bahwa penghuni rumah sudah melaksakan shalat Shubuh. Tapi bila tidak, penghuni rumah akan langsung diinterogasi.
Andai belum shalat karena tertidur, maka diperintahkan segera menunaikan shalat. Bila tiga kali didapati tidak juga menunaikan shalat–ditandai dengan batu tapakan yang tidak basah–maka penghuni rumah harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi bila kemudian terbukti meninggalkan shalat kembali, maka penghuni rumah harus meninggalkan nagari.
Nan Renceh juga berhasil membudayakan pakaian jubah putih bagi laki-laki dan kerudung bagi perempuan. Bagi mereka yang akan dipilih menjadi wali nagari (kepala pemeritahan nagari) harus mampu menjadi imam shalat berjamaah.

Hukum Islam yang ditegakkan kaum Paderi dalam masa kepemimpinan Nan Renceh sangat tegas dan berwibawa. Ampera Salim juga menyebutkan, pernah suatu kali etek (adik ibu/ayah) Nan Renceh sendiri tak mengindahkan aturan yang diberlakukan Pemerintah Negara Darul Islam Minangkabau. Dia enak saja meneruskan kebiasaan minum tuak dan menghisap candu.
Memang, orang dekat Nan Renceh, yakni Hassan Nasution, pernah menegur si etek agar menghentikan kebiasaannya. Tapi dia tetap menolak. Bahkan ketika ditawarkan agar diungsikan ke Kuantan, si etek tegas-tegas menolak.

Demi tegaknya wibawa hukum Islam, si etek divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan dengan pedang oleh Haji Idris dan Haji Hassan. Kejadian ini berlangsung dalam tatapan tenang seorang Tuanku Nan Renceh. Baginya, penegakan wibawa hukum Islam lebih peting daripada saudara sendiri yang mengingkarinya.*/ sahid 

Sumber: http://hidayatullah.com
http://wwwhtanjungcom.blogspot.com/ 

serangan salafi terhadap syiah

Serangan Salafi terhadap Syiah


ada beberapa poin yang diserang oleh Salafi terhadap Syiah, sebagai berikut:

1. Syiah mengatakan bahwa Aisyah istri Rasulullah saw adalah pezina, padahal dalam Al Quran, sudah dikatakan bahwa istri-istri Rasulullah saw adalah ummhatul mukminuun artinya ibu bagi orang-orang beriman. Syiah menuduh Asiyah seorang pezina terkait dengan peristiwa Ashabul Ifki, pada sebuah perjalanan rombongan Rasulullah saw, dimana Aisyah ketinggalan rombongan karena sibuk mencari kalung perhiasannya, kemudian beliau diantarkan ke rombongan Rasulullah saw oleh seorang sahabat. kisah ini sengaja dibesar-besarkan oleh kaum munafik dari kelompok Abdullah bin Ubay bin Salul untuk memojokkan Aisyah. Syiah juga memanfaatkannya dan melanggar keterangan dan penegasan dari Al Quran sendiri bahwa istri Rasulullah saw adalah ibu orang beriman. Syiah mengatakan bahwa dengan peristiwa tersebut Aisyah batal sebagai ibu orang beriman padahal hingga Rasul wafat, Aisyah masih berstatus sebagai istri Rasulullah saw dan malahan Rasul wafat di pangkuan Aisyah.
peristiwa kedua yang dijadikan alasan oleh syiah adalah karena Aisyah bersama pasukannya pernah memerangi khalifah Ali bin Abi Thalib bersama pasukannya, berkoalisi dengan pasukan Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah.
ketiga, syiah membenci Aisyah lantaran Aisyah adalah anak abu Bakar, sekaligus adik ipar Zubair bin Awwam, dan bibi dari Abdullah bin Zubair. mengenai tuduhan syiah kepada Abu Bakar kita bahasa pada poin berikutnya.

2. Syiah mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khattab sudah mengkhianati wasiat Rasullah saw terkait dengan pengangkatan Ali sebagai ‘maula’ pengganti Rasullah saw nantinya. Syiah berpendapat bahwa seharusnya Abu Bakar dan Umar tidak perlu merisaukan masalah suksesi siapa pengganti kepemimpinan Rasulullah saw setelah beliau wafat karena pada peristiwa ghadir Khum, Rasulullah saw sudah menentukan siapa pengganti beliau. menurut syiah, masalah imamah atau khalifah sudah ditentukan Allah bagi umat Muhammad saw. tidak perlu musyarawah lagi. Rasulullah saw sudah mengangkat Ali sebagai khalifahnya dan khalifah2 sesudah Ali pun sudah ditentukan oleh Allah swt.

Dari kedua hal ini kemudian memunculkan banyak peristiwa dan hal-hal turunan lainnya.
maka ada tuduhan dari salafi bahwa syiah membenci zubair bin awwam dan thalhah, membenci keturunan keduanya termasuk abdullah bin zubair, membenci nama abu bakar dan umar untuk anak mereka. padahal beberapa keturunan Husain menggunakan nama abu bakar dan umar sebagai nama anak-anak mereka. ini membantah bahwa keturunan husain yang dianggap syiah sebagai imam telah membenci abu bakar dan umar. keturunan husain ridha terhadap abu bakar dan kekhalifahannya.
kemudian juga memunculkan polemik tentang mushaf fatimah yaitu koleksi ayat-ayat al Quran oleh fatimah dan ali bin Thalib padahal kenyataannya selama pengumpulan al Quran di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman, Ali bin Abi Thalib juga mengetahui dan menyetujui, jadi mana mungkin ada perbedaan versi antara Mushaf Utsmani dengan mushaf lainnya termasuk mushaf fatimah kalaupun ada. ini sengaja dihembuskan oleh kaum munafik.
http://wwwhtanjungcom.blogspot.com/